Sampai kapan kita berlelah-lelah mengikuti kompetisi kehidupan?
          Nyatanya sejak sebelum lahir di dunia,kita sudah berkompetisi. Kalau anda pernah menyaksikan film Harun Yahya tentang “penciptaan manusia”, betapa mengagumkannya satu sel sperma yang kelak bernama “saya” sedang mengalami persaingan dengan jutaan sel sperma lainnya. Berjibaku, adu cepat, tangkas melewati serangan zat asam demi tujuan membuahi sel telur.
          Sebuah drama heroisme tersaji dari jutaan kawan kompetisi itu. Semuanya memilih maju dan menerima kenyataan mati daripada memutar badan mundur dari kompetisi. Dan akhirnya kita juara. Kalau anda sekarang bisa menikmati dunia, ingatlah itu adalah hasil dari keberanian kita konon saat berkompetisi di rahim ibu.
Begitu, boleh dibilang.         
          Hanya kematian yang menjadi garis batas usianya kompetisi kehidupan. Selama tak nampak garis sakaratul maut itu, ruang kompetisi itu adalah ruang kita untuk berkarya. Betapa kasihan, tak sedikit dari mereka yang menutup laga pertandingan jauh sebelum mencapai gerbang kematian. Dalam hidup yang masih segar bugar mereka mengeluh, menyumpahi teman kompetisi yang dianggap musuh, menghadapi kekalahan di luar kewajaran, putus asa, lantas menyerah. Seolah-olah dia manusia yang turun dari Surga kemarin lalu keget dengan tuntutan persaingan di dunia.
Hei, benarkah Anda baru menyadarinya???
          Mengkhusyuki kecengengan bukanlah sebuah prestasi. Beradekan lari masuk kamar, mengunci pintu, melemparkan badan ke ranjang, nangis sejadi-jadinya, hanya ada di sinetron. Sedangakan kita sadar hidup ini tak se-absurd film sinetron.
          Percayalah, hanya cerita-cerita kebangkitanlah yang selalu mendapat tempat untuk diapresiasi dan dikenang.
          Tak ada kunci yang benar-benar bisa menjawab seseorang agar selalu menang dalam kompetisi. Juga tak ada jawaban yang tepat untuk menjawab: Seberapa banyak kita boleh kalah dalam berkompetisi? Ya, entahlah. Tapi nyatanya, Nabi Muhammad tak harus selalu menang dalam setiap peperangan untuk membuat Islam menjadi berjaya. Dalam perang Uhud beliau kalah. Thomas Alfa Edison, tak harus selalu berhasil dalam bereksperimen untuk membuat filament karbon dari serat-serat bamboo itu tampak bercahaya. Atau pula, FC Barcelona dan Manchester United tak harus selalu menang setiap pecan untuk menjadi kampiun liga di negaranya. Betapa pun ada kekalahan, toh hasil akhirnya adalah kemenangan.
          Barangkali kunci jawaban yang tepat adalah: HADAPI!!!
          Keberanian berkompetisi itulah kemmenangan sejati. Kemenangan melawan sisi malas diri sendiri, setidaknya. Maka terimalah setiap kehidupan yang Allah anugerahkan kepada kita, lalu hadapi….hadapi…dan hadapi…tantangan yang ada di dalamnya. (Dialah Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Penganpun, (QS. Al-Mulk : 2)
          Kehidupan tak pernah menghukup kita yang mungkin sudah babak belur menghadapi tantangan kompetisi. Percayalah, kebabakbeluran itu tak lebih sebuah “mahar” untuk datangnya kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
          InsyaAllah… J


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2010 Siungmas blog
Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger